“Harga Sebuah Keajaiban”

Suatu ketika saya pernah berbicara dengan seorang kawan yang sebaya dengan saya. Ada satu pertanyaan menggelitik yang selalu saya tanyakan kepada setiap pemuda yang menurut saya menarik untuk diajak berdiskusi. What should we realy do in our life...make the world like our vison weather it can accomplished or not, or just adapt our behavior just like the world realy like...membuat dunia seperti visi kita, setidaknya di lingkup kita, atau hanya beradaptasi dan mengikuti arus dunia entah itu ideal atau tidak, benar atau salah...karena kebenaran di dalam negeri ini seringkali diidentikan dengan pendapat masyarakat umum. Kebenaran itu berbunyi “jangan naik pohon tinggi-tinggi kalau jatuh sakit...atau go with the flow sajalah...atau jalan menuju kebahagiaan itu salah satunya dengan tidak menuntut sesuatu terlalu tinggi...atau saya ingin tidak mau terlalu idealis kasian orang tua saya...dsb”. Bagi saya sekerdil apapun saya, tak ada alasan untuk menggapai hal yang melangit...karena saya, kita, punya Tuhan dan selalu ada keajaiban di setiap gerak dan niat yang tulus serius...ada sebuah kisah nyata yang cukup menggambarkan bahwa keajaiban itu ada bagi mereka yang percaya, sangat simple...hanya membutuhkan pemikiran otak kanan yang lebih dominan dan sebuah keyakinan tanpa alsan...

Sally baru berumur sebelas tahun ketika dia mendengar ibu dan ayahnya sedang berbicara mengenai adik lelakinya, Georgia. Ia sedang menderita sakit yang parah dan mereka telah melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan untuk meyelamatkan jiwanya. Hanya operasi yang diharapkan bisa menyelamatkan jiwa Georgia. Sebuah operasi yang sangat mahal, dan mereka tidak punya biaya untuk itu.

Sally mendengar ayahnya berbisik, “Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya sekarang.”

Sally pergi ke tempat tidur dan mengambil celengan dari tempat persembunyiannya. Lalu dikeluarkannya semua isi celengan tersebut ke lantai dan menghitung secara cermat, tiga kali. Nilainya harus benar-benar tepat.

Dengan membawa uang tersebut, sally menyelinap keluar dan pergi ke sebuah apotik di sudut jalan. Ia menunggu dengan sabar sampai sang apoteker memberi perhatian. Tapi dia terlalu sibuk dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berusaha menarik perhatian dengan melambai-lambaikan tangannya, tapi gagal. Akhirnya ia mengambil uang koin dan melemparkannya ke kaca etalase. Berhasil!!

Apa yang kamu perlukan?”Tanya apoteker tersebut degan suara marah. “Saya sedang berbicara dengan pelanggan saya.”

Tapi, saya ingin berbicara kepadamu mengenai adik saya,”Sally menjawab dengan nada yang sama.

Dia sakit..., dan saya ingin membeli keajaiban.”

Apa yang kamu katakan?”Tanya sang apoteker.

Ayah saya mengatakan hanya keajaiban yang bisa meyelamatkan jiwanya sekarang.., jadi, berapa harga keajaiban itu?”

Kami tidak menjual keajaiban, adik kecil. Saya tidak bisa menolongmu.”

Dengar, saya mempunyai uang untuk membelinya. Katakan saja berapa harganya.”

Seorang pria berpakaian rapi berhenti dan bertanya, “Keajaiban jenis apa yang dibutuhkan oleh adikmu?”

saya tidak tahu,” jawab sally. Air mata mulai menetes di pipinya.

Saya hanya tahu dia sakit parah dan mama mengatakan bahwa ia membutuhkan operasi. Tapi kedua orang tua saya tidak mampu membayarnya..., tapi saya juga mempunyai uang.”

Berapa uang yang kamu punya?”taya pria itu lagi.

satu dolar dan sebelas sen,”jawab sally dengan bangga.” Dan itulah seluruh uang yang saya miliki di dunia ini.”

Wah, kebetulan sekali,”Kata pria itu sambil tersenyum.

Satu dolar dan sebelas sen..., harga yang tepat untuk membeli keajaiban yang dapat menolong adikmu.” Dia mengambil uang tersebut dan kemudian memegang tangan Sally sambil berkata :” Bawalah saya kepada adikmu. Saya ingin bertemu dengannya dan juga orang tuamu.”

Pria itu adalah dr. Carlton Armstrong, seorang ahli bedah terkenal. Operasi dilakukannya tanpa biaya dan membutuhkan waktu yang tidak lama sebelum Georgi dapat kembali ke rumah dalam keadaan sehat.

Kedua orang tuanya sangat bahagia mendapatkan keajaiban tersebut.

Operasi itu,” bisik ibunya, “adalah seperti keajaiban, saya tidak dapat membayangkan berapa harganya.”

Sally tersenyum. Dia tahu dengan pasti berapa harga keajaiban tersebut. Satu dolar dan sebelas sen...,ditambah dengan keyakinan....

Kisah ini saya temukan di sebuah buku yang saya beli langsung dari penulisnya 3 tahun silam saat saya mendapat pelatihan 10 hari intensive di Parung, BOGOR. Diantara kumpulan cerita-cerita menarik lainnya, cerita ini bagi saya yang paling menginspiratif.

Keajaiban..sebuah kata pembangkit harapan dan penyangga lapuknya tembok optimistic. Sebuah kata yang akan selalu eksis dalam kehidupan meski tak pernah bisa terjangkau oleh rasionalitas manusia. Sayangnya seiring semakin mengentalnya pemikiran modern yang cenderung “base on plan settled”, kata “keajaiban” ini seolah telah kehilangan ruang. Menyisakan impian besar yang hanya menjadi milik kalangan yang ber-financial abundance, kaya jaringan dan memiliki lingkungan dengan support system ideal. Masyarakat kaum marginal seolah dipaksa untuk kerdil akibat mem-boomingnya paham yang disebut “be a realistic person!”. Seolah tanpa bekal “kekinian yang ada di saat itu”, seseorang tidak akan mampu menjadi apa yang diimpikannya.

Kisah diatas semoga menginspirasi kita bahwa apapun yang ingin kita lakukan, besar atau raksasa...there will always a miracle for those who believe in...apapun yang ingin anda raih, atau anda rubah...sesulit apapun, ada keajaiban meski tak terlihat...

mari menjadi pribadi tangguh yang bervisi dalam hidup sehingga hidup ini penuh arti dan tujuan berlevel... saat tulisan ini hanya bernilai kemunafikan...saat itulah anda harus men-setting otak kanan dengan lebih dominan...karena kemunafikan adalah konotasi bangsa ini untuk merasionalisasikan kegagalan perjuangannya di masa lampau yang membekas dalam alam bawah sadarnya...

Choleric Phase

IKATLAH ILMU DENGAN PENA

*Penulis Resensi adalah seorang mahasiswa NERS UB yang NATO (Not Affraid Talk Optimistic)




0 komentar:

Posting Komentar