Terkisah ada dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan. Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas. Sepanjang mata memandang, hanya ada pasir membentang. Jejak-jejak kaki mereka meliuk-liuk di belakang, membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan merunduk.
Tiba-tiba, badai gurun datang. Hembusannya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pakaian mereka menggelepak, menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga satu sama lain dengan berpegangan tangan erat. Mereka mencoba bertahan melawan ganasnya badai.
Badai pun reda, tapi musibah lain datang menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terbuka saat badai tadi. Isinya berceceran. Entah gundukan pasir mana yang telah meneguknya. Kedua pengembara itu pun duduk termenung meratapi kehilangan itu. "Waduh, tamat riwayat kita," kata Hasan, salah seorang di antara mereka. Lalu, dia menulis di pasir dengan ujung jarinya. "Kami sedih, kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini." Kawannya, si Taufiq pun tampak bingung. Namun, mencoba tabah. Membereskan perlengkapannya dan mengajak kawannya melanjutkan perjalanan.
Setelah lama menyusuri padang pasir, mereka melihat ada oase di kejauhan. "Kita selamat!!",seru seorang di antara mereka. "Lihat,ada air disana!!"Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung, bukan fatamorgana. Ini benar-benar sebuah kolam. Kecil, tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun segera minum sepuas-puasnya dan mengisi kantong air.
Sambil beristirahat, Hasan mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas sebuah batu di tepian oase."Kami bahagia. Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini," Itu kalimat yang dipahatnya. Pengembara kedua heran, "Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir?"
Yang ditanya tersenyum. "Saat kita mendapat kesusahan, ujian dan cobaan apa pun, tulislah semua itu di pasir. Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya Lenyap dan pupus," jawabya dengan bahasa cukup puitis. "Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya btu agar tidak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan."
Keduanya bersitatap dalam senyum mengembang. Bekal air minum telah didapat, istirahat pun telah cukup, kini saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan seringan angin yang bertiup mengiringi.
Kisah di atas seolah membuka pikiran kita tentang secuil arti kesabaran. Betapa menyenangkannya hidup ini apabila semua hal menyedihkan dapat kita torehkan di atas hamparan pasir yang senantiasa teriup angin.Betapa damai dan puasnya hati ini apabila setiap nikmat, kita dokumentasikan dalam rupa sebuah pahatan.Kesabaran yang sejati tidaklah mengenal titik.Kesabaran layaknya bara api yang harus digenggam erat aar tidak akan jatuh menghempas tanah dan padam cahayanya. Itulah mengapa kesabaran seolah bersifat kontinyu dan tidak ada akhir episodenya. Sepertinya tidak ada saat dimana kondisi tak membutuhkan lagi spirit kesabaran. Kesabaran itu mahal...bai yang pemarah...kesabaran itu susah..bagi mereka yang tak mau mengendalikan dirinya..pertanyaannya?apakah kita sudah tergolong orang yang sabar?dan maukah kita bersiap untuk menempuh pengembaraan mencari ilmu sabar mulai sekarang?semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang sabar...Aminn
IKATLAH ILMU DENGAN PENA
Penulis resensi adalah seorang Mahasiswa Ners FKUB yang NATO "Not Afraid Talk Optimistic"
Melancholic Phase
Mantap artikelnya...
BalasHapus